Ada banyak novelis di luar sana yang gaya tuturnya menarik, tapi ada berapa yang sampai membuatmu berdecak kagum setelah selesai membaca karyanya?
Buatku, sejauh ini, hanya Emily St. John Mandel yang bisa menghipnotisku dengan caranya menyampaikan cerita hingga aku bisa termenung beberapa saat setelah aku menutup novel tulisannya. Bukan merenung karena bingung, tapi merenung karena cerita yang baru saja selesai aku baca sangat menyentuh di hatiku. Padahal, sejujurnya, cerita-cerita yang beliau tulis sebenarnya bukan cerita yang spektakuler.
Emily St. John Mandel adalah seorang warga negara Kanada yang tinggal di New York. Sejauh ini, beliau sudah menulis empat buah novel: Last Night in Montreal, The Singer’s Gun, The Lola Quartet, dan Station Eleven.
Aku pertama kali mengenal karyanya dari sebuah book club online yang pernah aku ikuti. Ketika itu buku pilihan di bulan tersebut adalah Station Eleven. Membaca premisnya, yaitu kejadian post-apocalyptic setelah sebagian besar populasi manusia di dunia ini mati karena wabah flu, awalnya aku tidak terlalu tertarik. Namun ternyata efek yang aku dapatkan setelah selesai membacanya sangat dahsyat dan membuatku ‘haus’ akan cerita sejenis; yaitu cerita yang ternyata tidak kiamat-kiamat amat, tapi lebih condong ke bagaimana peradaban bertahan setelah diterjang kiamat tersebut. Sampai sekarang aku belum menemukan cerita yang mirip, jadi aku mencoba untuk membaca karya Mandel yang lainnya saja.
Baca juga: The Girl on the Train
Untungnya, ternyata Mandel memang memiliki ciri khas dalam gaya tuturnya, sehingga membaca novel-novel beliau yang lain memberikan efek yang sama dahsyatnya dengan efek yang diberikan Station Eleven padaku. Ketiga novel lainnya ini temanya hampir mirip yaitu cerita yang berkaitan dengan kriminal, tapi inti ceritanya bukan kriminal itu sendiri (ribet ya penjelasannya? Hehe…); namun begitu, ketiganya sama menariknya dengan Station Eleven. Hal ini membuatku kesulitan untuk memilih mana yang menajadi karya Mandel favoritku.
Kesemua novel beliau ini lebih mirip teks ber-genre recount dibandingkan narrative. Plotnya cenderung datar dan lebih mirip seorang teman yang menceritakan pengalaman hidupnya. Tidak ada struktur ala narrative (orientation – complication – resolution); tidak ada klimaksnya. Namun Mandel menceritakan kisahnya dengan alur cerita bolak-balik sehingga membuatnya tetap menarik. Bagi sebagian orang cara bercerita seperti ini mungkin bisa jadi membingungkan, tapi buatku justru inilah hal yang paling menariknya. Mandel juga banyak menyisipkan hal-hal yang ketika kita baca awalnya kita anggap bukan sesuatu yang penting tapi ternyata punya peran yang penting terhadap keseluruhan cerita.
Ketika membaca sinopsis yang tercantum di sampul belakang novel-novel karya Mandel, kita mungkin cenderung menganggap kalau ceritanya berat. Namun percayalah, karya-karya beliau adalah bacaan yang cocok bagi kita yang ingin membaca bacaan ringan yang bisa dibaca perlahan dan mengulur-ulur waktu; walaupun aku hampir selalu menyelesaikannya dalam waktu 2-3 hari saja.
Novel terbaru Emily St. John Mandel akan terbit pada bulan Maret tahun depan. Rasanya aku sudah tidak sabar.
Baca juga: Books I Finished in January
3 Comments
[…] Baca juga: My Favourite Author: Emily St. John Mandel […]
4 January 2020 at 10:08 PM[…] yang dinanti tiba juga. Novel terbaru dari novelis favoritku, Emily St. John Mandel, sudah terbit akhir Maret lalu. Novel berjudul The Glass Hotel ini bercerita tentang seorang penipu […]
20 April 2020 at 4:40 PM[…] akhir 2019, aku & Mijra ngobrol tentang novel Station Eleven-nya Emily St. John Mandel. Mijra bilang “Eh kamu udah denger berita tentang virus yang dari Wuhan? Ngeri lho, takut […]
29 December 2020 at 9:44 AM