Sama seperti kebanyakan remaja di dunia ini, dulu aku suka mengurung diri di kamar sambil nyetel musik. Ada beberapa lagu yang membekas banget di hati karena rasanya dulu lagu itu ‘gue banget’, terutama lagu-lagu patah hati waktu sadar kalau perasaanku padanya ternyata bertepuk sebelah tangan ?
Ada juga beberapa lagu tentang indahnya cinta yang rasanya pas banget sama cerita hidupku saat itu pas lagi berbunga-bunga karena perasaan yang terbalas. Padahal apalah si Dara di umur 18 tahun, tau apa tentang cinta? Waktu itu aku kira dialah ‘the one’ karena akhirnya ngerasain lagi cinta terbalas setelah berjajar cinta-cinta yang cuma berujung “Oh kamu teh suka sama aku? Aku nggak nyangka.”
Ketika akhirnya putus dan cintaku selanjutnya berlabuh pada seseorang yang baru, ternyata lagu yang aku dengerin masih lagu yang sama.
I’d rather be with you. I’d rather not know where I’ll be than be alone and convinced that I know. (Lifehouse – Spin)
Dulu makna yang aku tangkap di lirik lagu ini kurang lebih adalah “aku maunya sama kamu, aku nggak bisa hidup tanpa kamu, aku nggak mau sendirian,” dst., dsb. Tapi ternyata pemahamanku terhadap sebuah lirik bisa berubah seiring dengan proses pendewasaan yang aku lalui.
Sekarang setelah menikah dan punya anak, setelah lebih dari lima tahun bareng-bareng, setelah honeymoon phase sudah terlewati dan jelek-jeleknya pernikahan sudah mulai terasa, makna lagu yang dulu sering aku dengerin sambil bayangin indah-indahnya doang itu somehow jadi bergeser.
Dulu rasanya lagu itu bermakna us against the world, kita versus mereka yang nggak suka kita barengan. Sekarang lagu itu bermakna us against us; kita versus ego kita, pilihan-pilihan kita, kesalahan-kesalahan yang kita buat. Juga kita versus kemalangan yang ternyata bisa menimpa kita.
I’d rather not know where I’ll be. Aku ikut kamu ke manapun nasib membawa kita.
Bandung, 16 Maret 2020, di tengah pandemi Covid-19.
8 tahun sejak kencan pertama kita.
(Pic from Unsplash)