I’ve had my suspicions, but now I can confirm that I am 100% not a morning person.
Selama belasan tahun sebagai siswa lalu mahasiswa (plus guru sekolah selama 1 semester), aku selalu dituntut untuk bangun pagi setiap hari, atau seenggaknya setiap hari kerja. Kita semua merasakannya. Bangun subuh, lalu siap-siap berkegiatan. Bahkan kadang kita harus berangkat ketika matahari belum terbit & dunia masih dingin.
Kita dituntut untuk produktif di pagi hari. Ketika TK, aku masuk sekolah jam 8. SD jam 7. SMP dan SMA jam 6.45. Lalu ketika mengajar di sebuah SMA swasta, aku harus datang sebelum jam 6.30. Anak-anak kecil di suatu kabupaten malah harus masuk sekolah jam 5.30. The earlier, the better. Early bird gets all the worms, right? Kalo bangun siang nanti dimarahin ibu, kan?
Sekarang ketika dewasa & jadi ibu rumah tangga dengan anak yang masih kecil & suami yang jam kerjanya nggak 8-to-4, aku baru bisa merasakan & memahami betapa aku suka pagi-pagi yang tenang. Bangun, bikin kopi, lalu duduk sambil baca novel; nggak mulai kerja sebelum jam 7.
But it’s tough not to be a morning person in a society where everyone must be one. Ibuku bilang aku pemalas karena bangun tidur langsung santai (when in reality I’m actually lazy because I just am ?)
Tapi memang nggak setiap pagi bisa dihadapi dengan santai. Kadang ada juga pagi-pagi yang harus dimulai dengan ngopi sambil nyuci piring karena malem sebelumnya nggak sempet nyuci, atau karena pas bangun pas aliran air komplek lagi kenceng (kalo pagi sering mengecil ☹️)
Intinya, manusia diciptakan berbeda-beda. Nggak semua orang harus jadi morning person. Kamu juga kalo pagi-pagi bawaannya males ngapa-ngapain padahal kalo siang-sore-malem bisa produktif, well… barangkali kamu bukan morning person.