Seorang teman pernah bertanya “Kenapa kamu nggak lebih banyak nulis tentang parenting now that you are a parent?”
I found the question a bit tricky to answer.
For starter, aku pingin belajar untuk menghormati privasi anak. Aku pingin mengajarkan ke Kinas bahwa dia adalah individu merdeka yang punya hak penuh atas kehidupannya.
Jadi, selama dia belum paham apa itu konsen, aku pingin meminimalisir foto, video, & cerita tentang Kinas di internet. Karena jejak digital itu awet & susah dihapus. Akan selalu ada arsip di suatu tempat di luar sana.
Sejujurnya, kadang memang susah sih menahan diri untuk nggak share kelakuan dia yang suka konyol, ajaib, & bikin ngakak. Tapi semua itu aku share cuma di grup keluarga saja. Biar keluarga yang menikmatinya. Yang aku share di internet dikurasi dulu, dipilih yang sekiranya 1) nggak mengundang orang-orang aneh, dan 2) nggak akan bikin dia malu someday ketika dia udah paham.
Hal yang kedua, aku nggak mau jatuh ke lubang perasaan ‘holier than thou’ & berubah jadi jenis orang yang sok tahu. Aku banyak lihat fenomena kayak begini di internet. First time mommy tapi postingannya menggurui banget. Istilahnya sih sharing ilmu ya, tapi kadang sumber dia belajar pun nggak tepat dan akhirnya malah jadi menyesatkan.
Ambil contoh yang paling banyak saja, misalnya perkara MP-ASI. Dari yang aku baca di tulisan-tulisannya dr. Meta Hanindita (IG @metahanindita), MP-ASI menu tunggal di 14 hari pertama itu salah & nggak pernah ada di rekomendasi WHO. Tapi banyak first time mommies yang share menu tunggal ini di medsosnya sehingga informasi yang salah ini malah jadi spiraling out of control & dicontoh banyak ibu-ibu lainnya. Ngeri akibatnya. Ya kasihan sama anaknya, ya dosa juga karena menyebarkan informasi yang salah.
Terakhir, sekarang ini aku memang mulai capek terlalu banyak share di medsos. Sepuluh tahun yang lalu ketika blogging lagi asyik-asyiknya, ketika masih banyak blog yang aku baca & Instagram baru muncul & blogger-blogger yang aku suka mulai pakai Instagram, everything is fresh & authentic. Instagram isinya selfie instan & foto makanan yang literally instan, yang difoto lalu di-posting saat itu juga. Instagram itu kayak platform untuk kenal lebih dekat sama seleb & blogger; platform di mana kita bisa mengintip keseharian mereka.
Makin ke sini, isinya makin penuh pencitraan. Foto diedit sedemikian rupa. Caption makin panjang. Lalu dengan caption yang panjang itu pelan-pelan blogging mulai pindah ke Instagram.
(Aku ingat banget pernah bilang ke mantan “Instagram itu isinya foto instan, hence the name. Kalau kamu mau foto-foto serius macem hasil karyanya fotografer profesional mah tempatnya ya di Flickr lah.” LOL!)
Sebagai seorang blogger, aku tentunya berusaha mengikuti arus. Tapi lama-lama lelah juga ya… Bahkan fitur Instagram stories yang dianggap lebih instan pun sekarang udah makin banyak yang currated juga. Sampai ada tutorialnya segala di Tik Tok ?
Aku capek. Aku begadang tiap malam. Kalau ada waktu luang, aku mau baca novel pembunuhan aja daripada edit-edit konten untuk Instagram stories.
But don’t get me wrong, though. Aku bukannya mau menyerang para mommy blogger/mommygrammer. Walaupun aku banyak nggak setujunya dengan beberapa hal, aku tetap salut sama mereka. Aku baru punya anak satu aja edan capeknya bruh, rasanya pingin punya tukang pijit pribadi yang selalu standby. Sedangkan mereka banyak yang anaknya lebih dari satu tapi mampu juggling antara konten organik & sponsored post. You guys are superwomen ??
Jadi kesimpulannya… no, I’m not going to be a mommy blogger/Instagrammer. But I may write about my kid every now & then in between all the stuff about murder mysteries and/or movies.
That is… if I’m not too tired at the end of the day. Hahahaha ?