Review The Glass Hotel, Novel Terbaru Emily St. John Mandel

Akhirnya yang dinanti tiba juga. Novel terbaru dari novelis favoritku, Emily St. John Mandel, sudah terbit akhir Maret lalu. Novel berjudul The Glass Hotel ini bercerita tentang seorang penipu kelas kakap yang bisnis skema Ponzi-nya runtuh seiring dengan terjadinya krisis ekonomi 2008 di Amerika Serikat. Sounds boring? Trust me, it’s not!

Vincent adalah seorang bartender di Hotel Caiette, sebuah hotel megah yang terbuat dari kaca di sebuah pulau terpencil di British Columbia, Kanada. Hidupnya yang gitu-gitu aja berubah seketika saat dia berkenalan dengan Jonathan Alkaitis, orang kaya pemilik hotel tersebut. Jonathan meminta Vincent untuk berpura-pura jadi istrinya dan Vincent diberikan fasilitas mewah layaknya seorang trophy wife. Selama menjadi istri pura-puranya Jonathan, Vincent ikut bepergian dan bertemu banyak orang yang merupakan klien di perusahaan investasi milik Jonathan. Tapi hidup mewah Vincent tidak bertahan terlalu lama. Semuanya hilang ketika Jonathan ditangkap atas tuduhan penipuan, karena ternyata bisnis investasinya selama ini adalah sebuah skema Ponzi.

Seperti karya Mandel yang lain, The Glass Hotel ini memiliki ciri khas yang sama yaitu alurnya yang maju-mundur. Kita diajak untuk berkenalan dengan masa kecil Vincent dari sudut pandang kakaknya, lalu cerita berlanjut ke Vincent di masa kini. Sudut pandangnya juga berganti-ganti. Selain kakaknya dan Vincent sendiri, ada cerita yang diceritakan dari sudut pandang beberapa tokoh lain seperti Jonathan, manajer hotel, korban skema Ponzi, serta seorang karakter yang muncul juga di novel Mandel sebelumnya, Station Eleven. Ini sebuah kejutan yang menarik sekali buatku.

Ciri khas lainnya dari gaya tulisan Mandel yang ada juga di The Glass Hotel ini adalah ceritanya yang tanpa klimaks. Apakah ini bikin pembaca nggak puas? Nggak juga kok. Aku mendapatkan kepuasan yang sama seperti ketika aku selesai membaca novel-novel Mandel lainnya. Terasa seperti seorang teman yang bercerita tentang pengalaman hidupnya. Ini membuat cerita The Glass Hotel dan novel-novel Mandel lainnya terasa lebih nyata dan dekat dengan kehidupan kita, karena kehidupan nyata jarang ada klimaksnya (atau malah nggak ada?).

The Glass Hotel juga memberikanku rasa haru yang sama dengan keempat novel Mandel sebelumnya. Rasa haru yang membuatku merasa haus dan ingin baca lagi cerita yang sejenis. Sayangnya, Mandel bukan jenis penulis yang ‘produktif’, dalam artian getol kejar setoran dan menerbitkan novel tiap tahun. Tapi nggak apa-apa sih… Itu tandanya beliau mementingkan kualitas dibanding kuantitas. Aku nggak apa-apa kok nunggu 6 tahun lagi (jarak antara Station Eleven ke The Glass Hotel) asalkan novel selanjutnya kualitasnya tetap bagus.

Untuk kamu yang mau mulai mencoba baca karyanya Emily St. John Mandel, aku sarankan untuk baca Station Eleven dulu, baru The Glass Hotel ini. Kenapa? Supaya kamu bisa mengapresiasi subtle connections di antara keduanya.

Dan kalau kamu sudah selesai baca keduanya, mention aku di Twitter atau DM di Instagram (akun keduanya sama-sama @darlaoct). Kita fangirling Mandel bareng-bareng ?

20 April 2020
Previous Post Next Post

2 Comments

  • Reply Review The Glass Hotel, Novel Terbaru Emily St. John Mandel – Blogger Perempuan

    […] Baca Selengkapnya […]

    20 April 2020 at 4:57 PM
  • Reply novi nur lestari

    Halo ka 🙂 salam kenal. Makasih review bukunya bisa buat reference baca buku nih
    aku juga suka review buku loh, kalo ada waktu mampir juga ya di blog aku https://deeponyourmind.blogspot.com/

    5 May 2020 at 3:41 PM
  • Leave a Reply

    You may also like